Senin, 24 Mei 2010

Perda-perda AIDS yang Mandul di Tanah Papua

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 21/11-2008. Tanah Papua memegang record dalam pembuatan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Tanah Papua sudah menelurkan delapan Perda AIDS, masing-masing di Kabupaten: Nabire (2003), Merauke (2003), Jayapura (2003), Puncak Jaya (2005), Manokwari (2006), dan Teluk Bintuni (2006), serta di Kota: Sorong (2006), dan Jayapura (2006). Apakah perda-perda ini ampuh menanggulangi penyebaran HIV di Tanah Papua?

Data terakhir (30/6-2008) menunjukkan kasus AIDS di Tanah Papua mencapai 1.492, 4 di antaranya terdeteksi di kalangan pengguna narkoba dan 243 kematian. Fakta lain menunjukkan di beberapa kabupaten dan kota prevalensi HIV (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu) di kalangan ibu rumah tangga lebih besar daripada di kalangan pekerja seks komersial (PSK).

Kondisi Hubungan Seks

Epidemi HIV di Tanah Papua selalu dikait-kaitkan dengan nelayan Thailand sehingga terjadi penyangkalan pada penduduk lokal tentang mata rantai penyebaran HIV. Padahal, kasus HIV/AIDS pertama kali terdeteksi di kalangan nelayan Thailand di Merauke pada tahun 1994, sedangkan kasus AIDS sudah ada dua tahun sebelumnya. Secara statistik kasus AIDS baru muncul anara 5-10 tahun setelah tertular HIV. Ini menunjukkan penderita AIDS itu sudah tertular jauh sebelum nelayan Thailand terdeteksi HIV.

Dalam perda AIDS Merauke, misalnya, yang menjadi ’sasaran tembak’ sebagai ’biang keladi penyebaran HIV’ adalah penjaja seks (dalam perda disebut laki-laki, perempuan atau waria). Lebih buruk lagi yang disebut sebagai penjaja seks adalah yang mendapat imbalan. Ini menyesatkan karena risiko tertular HIV melalui hubungan seks tidak ada kaitannya secara langsung dengan penjaja seks yang dibayar.

Dalam Perda Kab Jayapura No 20/2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS pada pasal 4 ayat a disebutkan ”HIV dapat menular kepada orang lain dengan cara hubungan seksual yang tak terlindung.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks) bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah, zina, berganti-ganti pasangn, pelacuran, dan homoseksual).

Di pasal 5 ayat c disebutkan ”Penularan HIV hanya dapat dicegah dengan cara menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko.” Ini menyesatkan sehingga suami-suami yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan menganggap tidak ada risiko penularan terhadap istrinya karena hubungan seks mereka tidak berisiko.

Upaya pencegahan HIV diuraikan pada pasal 4 ayat b ”Setiap pekerja seks komersial wajib memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam satu bulan terhadap penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik reproduksi Merauke, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.”

Laki-laki Penular

Pasal ini tidak akurat. Pertama, antibodi HIV baru terdeteksi setelah terular minimal tiga bulan. Kalau seorang PSK beroperasi di Merauke baru tertular mengikuti tes HIV maka hasilnya akan negatif palsu (HIV sudah ada di darahnya tapi tidak terdeteksi karena pada masa jendela). Kedua, mobilitas PSK tinggi. Setiap bulan yang datang silih berganti sehingga tes tidak akurat lagi karena yang dites selalu ’barang baru’. Ketiga, dalam kurun waktu satu bulan saja sudah banyak laki-laki yang tertular HIV sebelum seorang PSK yang HIV-positif memeriksakan diri. Keempat, ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada PSK adalah penduduk lokal. Dalam perda tidak ada upaya untuk mendeteksi HIV pada laki-laki pelanggan PSK.

Maka, penyebaran HIV/AIDS di Merauke pun terus terjadi karena pencegahan yang dijangkau perda ini tidak menukik ke realitas tentang penyebaran HIV. Hal yang sama terjadi pada Perda Kota Jayapura No 7/2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan IMS, HIV dan AIDS. Di pasal 7 ada disebut kelompok rawan dan pemilik tempat-tempat rawan, tapi pada pasal 8 justru ada ketentuan walikota melarang tempat-tempat hiburan umum membuka kesempatan untuk praktek seks komersial. Lalu, di mana kewajiban memakai kondom diterapkan kalau tidak ada tempat transaksi seks? Kewajiban bagi pelanggan untuk memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko hanya bisa diterapkan pada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Begitu pula dengan Perda Kabupaten Nabire No. 18 Tahun 2003 tentang Pemakaian Kondom 100% di Tempat-tempat Hiburan tetap tidak memberikan cara pencegahan penularan HIV yang akurat. Perda ini hanya menyoroti tempat-tempat hiburan dan PSK sebagai ’biang keladi’ penyebaran HIV. Tentu saja ini salah besar karena penularan HIV tidak ada kaitannya dengan tempat-tempat hiburan.

Ledakan AIDS

Biar pun di Nabire tidak ada tempat hiburan tetap saja ada penduduk yang berisiko tertular HIV di luar Nabire. Mereka yang tertular HIV di luar Nabire akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Nabire. Perda ini ’turunan’ dari program di Thailand yaitu kewajiban memakai kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah-rumah berdir. Persoalannya adalah di Nabire khususnya dan di Indonesia umumnya tidak ada lokalisasi pelacuran atau rumah bordir sehingga program itu tidak bisa diterapkan.

Lagi-lagi cara-cara pencegahan HIV yang akurat tidak ditawarkan dalam Perda Kabupaten Puncak Jaya No. 14 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan ”Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (b) Setia pada satu pasangan tetap.” Ini jelas tidak akurat. Bisa saja terjadi salah satu atau kedua-dua pasangan yang saling setia sudah mengidap HIV. Bisa pula terjadi seseorang setia kepada pasangannya pada kurun waktu tertentu, kemudian setia lagi dengan pasangan lain. Begitu seterusnya.

Sedangkan di pasal 4 disebutkan ”HIV dapat menular kepada orang lain melalui (a) Hubungan seksual yang tidak terlindungi.” Ini pun tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam nikah dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif tidak ada risiko penularan biar pun hubungan seks di luar nikah dan tidak terlindungi.

Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan ”Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara (c) Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko tertular virus HIV dan IMS.” Pada pasal 1 ayat 11 disebutkan ”Perilaku seksual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.” Banyak laki-laki ’hidung belang’ yang melakukan hubungan seks dengan PSK yang sama. Bagi mereka itu bukan perilaku berisiko karena tidak berganti-ganti pasangan.

Ketika kasus HIV/AIDS kian banyak terdeteksi di Tanah Papua ’kepanikan’ pun terjadi. Pemerintah daerah di sana ramai-ramai membuat perda. Sayang, perda tidak menawarkan pencegahan yang akurat. Lihat saja Perda Kota Sorong No. 41 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS.

Pencegahan HIV/AIDS melalui jalur (faktor risiko) hubungan seks yang ditawarkan perda ini pada pasal 7 disebutkan (1) Program penggunaan kondom 100% bagi para kelompok risiko tinggi, (2) Program pengendalian transaksi seksual komersial, (3) Program penanganan IMS dan HIV/AIDS.

Program yang ditawarkan ini tidak realistis karena yang berisiko bukan kelompok tapi orang per orang. Risiko penularan HIV tidak hanya terjadi pada transaksi seksual komersial tapi juga pada setiap hubungan seks, di dalam atua di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Jika ingin menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa maka pada perda-perda itu harus ada pasal yang berbunyi ”Setiap orang wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergati-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial, di Tanah Papua atau di luar Tanah Papua.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV karena diduga sudah ada penduduk Tanah Papua yang tertular HIV tapi belum terdeteksi maka ada pula pasal yang berbunyi ”Setiap orang yang pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergati-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial, di Tanah Papua atau di luar Tanah Papua wajib melakukan tes HIV dengan konseling.”

Adakan kita bernyali menyampaikan kebenaran? Atau kita tetap berlindung di balik kemunafikan menunggu epidemi HIV menjadi ledakan kasus AIDS? Pilihan ada di tangan kita bukan di ’tangan Tuhan’.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar