Rabu, 25 November 2009

Sebagai Alat Kontrasepsi Kondom Juga Mencegah HIV/AIDS

Home Berita Berita Utama

CATATAN KESEHATAN

Oleh Syaiful W. Harahap

KASUS HIV dan AIDS yang terus terdeteksi di negeri ini men-dorong kalangan yang peduli me-mikirkan upaya untuk mencegah penyebaran HIV, khususnya melalui hubungan seks, secara konkret. Angka resmi yang dike-luarkan oleh Depkes RI sampai 30 Juni 2009 adalah 17.699 kasus AIDS. Dari jumlah itu ternyata 48,8 persen tertular melalui hubungan seks.

Estimasi kasus antara 90.000 – 120.000. Untuk itulah pencegahan melalaui hubungan seks menjadi salah satu prioritas utama dalam penanggulangan epidemi HIV di Indonesia.Apakah ada negara yang berhasil menurunkan infeksi HIV melalui hubungan seks? Thailand berhasil menurunkan insiden kasus infeksi HIV baru melalui hubungan seks di kalangan dewasa. Jika di tahun 1991 kasus infeksi HIV baru terdeteksi 142.819, maka di tahun 2003 kasus baru yang terdeteksi 23.676. Ini artinya terjadi penurunan 83,42 persen.

Apa yang dilakukan Thailand untuk menurunkan kasus infeksi HIV? Thailand menjalankan program wajib memakai kondom 100 persen pada hubungan seks di lingkungan industri seks, seperti lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sejak tahun 1989.

KONSUMSI KONDOM

Program itu memaksa laki-laki memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko, yaitu hubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK). Kalau di awal program pemakaian kondom secara nasional di Thailand hanya 14 persen, maka pada tahun 1992 meningkat menjadi 90 persen. Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 3,3 juta laki-laki yang menjadi pelanggan PSK, tapi hanya 1,3 persen dari mereka yang memakai kondom pada saat melakukan hubungan seks dengan PSK.

Diperkirakan penggunaan kondom yang meningkat di Thailand mencegah lima juta infeksi HIV baru. Kasus IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, dll.) di Thailand juga turun berkat peningkatan pemakaian kondom di industri seks dari 400.000 kasus/tahun menjadi di bawah 15.000 kasus/tahun sejak tahun 2000.

Kontrol ketaatan terhadap pemakaian kondom dilakukan melalui survailans tes IMS rutin terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan PSK. Ada sanksi untuk pengelola lokalisasi atau rumah bordir mulai dari peringatan sampai penutupan usaha.

Keengganan memakai kondom pada hubungan seks berisiko dapat dilihat dari kasus infeksi HIV yang tinggi. Ini terjadi di Cina. Penelitian Durex (2003) menunjukkan 70 persen laki-laki tidak memakai kondom pada hubungan seks berisiko. Maka, jangan heran kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Cina terbesar kedua di Asia setelah India.

Sedangkan di Prancis hanya sembilan persen laki-laki yang enggan memakai kondom. Sedangkan di Jepang 70 persen laki-laki memakai kondom sebagai alat kontrasepsi. Kebiasaan laki-laki di Negeri Mata Hari Terbit ini pun membuat kasus HIV/AIDS di Negeri Sakura itu kecil. Di Indonesia dari 50 juta peserta Keluarga Berencana (KB) hanya 0,9 persen yang menggunakan kondom. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus infeksi HIV mulai banyak dideteksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga.Fakta yang menunjukkan penurunan risiko terinfeksi HIV melalui hubungan seks jika memakai kondom mendorong banyak orang di beberapa negara untuk memakai kondom pada hubungan seks berisiko.

Kesadaran ini meningkatkan penjualan kondom. Dengan penduduk 90 juta jiwa Thailand menghabiskan 200 juta kondom/tahun (2,2 kondom per kapita/tahun), sedangkan di Malaysia dengan jumlah penduduk 30 juta jiwa terjual 100 juta kondom/tahun (3,3 kondom per kapita/tahun). Sedangkan di Indonesia dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa ’konsumsi’ kondom hanya 100 juta/tahun (0,43 konom per kapita/tahun). Program wajib kondom 100 persen itu kemudian diterapkan pula oleh Kamboja, Vietnam, Cina, Myanmar, Filipina, Mongolia, dan Republik Laos.

Mengapa tingkat pemakaian kondom untuk mencegah HIV dan alat kontrasepsi di Indonesia sangat rendah? Selama ini ada mitos (angapan yang salah) yang berkembang di masyarakat yang mengait-ngaitkan kondom dengan zina dan pelacuran. Akibatnya, pasangan suami-istri enggan memakai kondom. Selain itu ada pula mitos yang menyebutkan kondom berpori-pori. Kondom yang berpori-pori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang dan tidak dipasarkan di Indonesia. Sedangkan kondom yang beredar di Indonesia terbuat dari getah lateks sehingga tidak ada berpori-pori.

Ketika program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mengedepankan kondom sebagai salah satu alat mencegah penularan HIV mulailah muncul penolakan besar-besaran dari berbagai kalangan. Protes keras kembali berkumandang ketika kondom dipromosikan sebagai alat untuk mencegah penularan HIV pada hubungan seks berisiko, dalam bahasa moral zina atau pelacuran. Target sosialisasi kondom itu pas dan realistis. Tapi, karena selama ini masyarakat sudah dijejali dengan informasi HIV/AIDS yang ngawur (dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama) sehingga yang dipahami masyarakat luas hanya mitos tentang HIV/AIDS.

Akibatnya, yang muncul justru protes terhadap promosi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV.

LEDAKAN PENDUDUK

Promosi kondom itu pun ternyata diadopsi dari program nasional penanggulangan HIV/AIDS Thailand. Dalam program penanggulangan AIDS yang komprehensif di Thailand ternyata promosi kondom itu merupakan program terakhir. Thailand menjalankan program penanggulangan terpadu yang dijalankan secara konsisten. Dimulai dengan penyebarluasan informasi HIV/AIDS yang akurat melalui media massa secara terus-menerus yang diikuti dengan program lain secara bersamaan.

Sedangkan di Indonesia program terakhir di Thailand itu dijadikan program utama di saat masyarakat belum memahami cara-cara penanggulangan epidemi HIV secara akurat. Penyebarluasan informasi HIV/AIDS yang akurat pun tidak dilakukan secara konsisten melalui media massa. Begitu pula program lain juga dijalankan secara parsial dan tidak terpadu.

Program-program penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan di Indonesia selalu diwanti-wanti agar memperhatikan norma, budaya dan agama. Padahal, pencegahan HIV merupakan fakta medis yang realistis yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, budaya dan agama. Penularan HIV melalui hubungan seks dapat terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta. Tapi, karena selama ini informasi tidak akurat maka yang diketahui masyarakat secara luas adalah HIV menular melalui zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, dan homoseksual maka sosialisasi kondom pun dikhawatirkan akan mendorong orang untuk berzina, melacur, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, dan homoseksual.

Di Thailand sasaran program wajib kondom 100 persen sangat jelas yaitu laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan PSK di lingkungan industri seks. Nah, ketika program itu ’dijalankan’ di Indonesia, al. melalui peraturan daerah (Perda), hasilnya tidak efektif karena sasarannya tidak jelas dan mekanisme kontrolnya pun tidak akurat. Selain itu muncul pula gelombang penolakan yang sangat kuat. Soalnya, di Indonesia tidak ada lokasi pelacuran yang ’resmi’ sehingga orang beranggapan memasyaratkan kondom berarti ’menyuruh’ orang berzina atau melacur. Promosi kondom juga dianggap sebagai legalisasi pelacuran.

Biar pun anggapan itu tidak benar karena laki-laki ‘hidung belang’ justru enggan memakai kondom, tapi penolakan kian keras karena kondom dipromosikan secara umum kepada masyarakat luas tanpa sasaran yang jelas. Begitu pula ketika ‘ATM Kondom’ mulai dioperasikan sebagai upaya mendekatkan alat pencegahan kepada masyarakat muncul protes yang sangat keras dengan membawa-bawa moral dan agama.

Ketika lokalisasi pelacuran ditutup di negeri ini muncullah anggapan yang moralistik bahwa negeri ini bersih dari maksiat (baca: pelacuran, zina). Padahal, secara empiris praktek pelacuran terus terjadi kapan saja (siang dan malam) dan di mana saja (rumah, losmen, hotel, dll.). Kegiatan yang luput dari perhatian inilah yang kemudian menjadi pemicu penyebaran HIV secara horizontal.

Salah satu bukti bahwa biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran tapi tetap terjadi praktek pelacuran dapat dilihat dari jumlah ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi tertular HIV. Ini menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seks berisiko dengan pasangan seks mereka yang lain, seperti PSK atau selingkuhan.

Karena kondom merupakan alat yang berfungsi ganda yaitu sebagai alat kontrasepsi dan mencegah penularan IMS dan HIV maka akan lebih baik kalau program KB secara nasional mengedepankan kondom untuk kontrasepsi. Soalnya, tanpa KB Indonesia akan mengalami ledakan jumlah penduduk, dikenal sebagai baby booming. Tanpa KB jumlah penduduk di tahun 2015 mencapai 247,5 juta, tahun 2025 melonjak menjadi 273 juta. Jumlah penduduk yang besar ini akan berdampak terhadap pengeluaran pemerintah untuk beras, pendidikan dasar, imunisasi, kesehatan, dll. yang akan menyedot anggaran belanja negara. Pengeluaran negara akan bertambah untuk membeli obat antiretroviral (ARV) jika banyak penduduk yang tertular HIV.

Maka, dengan memakai kondom sebagai alat kontrasepsi angka kelahiran dapat ditekan sekaligus juga mencegah penularan IMS dan HIV.(penulis, koresponden khusus kesehatan SKH Swara Kita di Jakarta)

[Sumber: Harian “Swara Kita”, Manado, Rabu, 25 November 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar