Rabu, 06 Oktober 2010

Peran Media Dalam Penanggulangan AIDS

Kesehatan
Peran Media Dalam Penanggulangan AIDS


BEKASI SELATAN - Hingga saat ini masih banyak ditemukan kesalahan persepsi, stigma negatif, hingga perlakuan diskriminatif tentang HIV/AIDS dan para penderitanya.

Hal ini terungkap dalam temu media kota dan kabupaten Bekasi. Acara temu media dengan tema mencari Isu AIDS Yang Layak Liput, kemarin dilaksanakan di salah satu rumah makan di Bekasi Selatan.

Ketua LSM Info Kespro Syaiful W Harahap mengatakan, saat ini media yang memberitakan tentang penyakit AIDS tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, atau kondisi sebenarnya yang terjadi saat ini.

“Banyak media ketika mengangkat berita tentang penyakit AIDS masih salah memilih narasumber, maka dari itu ketika mencari narasumber harus sesuai dengan bidang yang dikuasai,” terangnya.

Sambil menyampaikan pengetahuan pemberitaan yang baik tentang penyakit AIDS, Syaiful pun menjelaskan mengapa kasus AIDS tercatat lebih banyak daripada yang terinfeksi HIV atau HIV positif.

“Karena kebanyakan melakukan VCT dan terdeteksi ketika sudah berada dalam stadium III HIV positif dan stadium IV yang sudah masuk ke dalam kategori AIDS. Di awal infeksi HIV tidak terjadi keluhan atau gejala yang berarti.

Biasanya gejala seperti flu saja. Berbagai keluhan akibat infeksi di stadium berikutnya pun kurang dicermati sebagai infeksi HIV,” jelas Koresponden Harian Swara Kota Manado ini.

Di sela-sela paparannya tentang data terbaru kasus HIV/AIDS di Kota Bekasi, Syaiful berpesan kepada rekan-rekan wartawan yang hadir agar tidak membuat pemberitaan yang negatif, tetapi upayakan membuat berita yang lebih humanis tentang HIV/AIDS. “Apalah arti sebuah angka. Sedikit atau banyak kasus HIV/AIDS yang terjadi, tetap saja harus ditanggulangi,” kata Syaiful.

Di satu sisi, dr Pusporini mengatakan, jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat salah satunya dikarenakan peran jejaring pelayanan kesehatan yang belum optimal. Dia juga menegaskan bahwa selama masih ada stigma negatif tentang HIV/AIDS, maka angka HIV/AIDS tidak akan muncul.

“Jadi ketika saat ini angkanya tercatat cukup besar, bukan hanya berarti penyebarannya semakin meluas, tetapi juga sebagai indikator bahwa sosialisasi HIV/AIDS sudah diterima cukup baik masyarakat. Sehingga semakin banyak orang yang datang ke tempat-tempat pelayanan kesehatan,” paparnya.

Menyikapi peran apa yang dapat dilakukan insan pers dalam penanggulangan HIV/AIDS, Pusporini mengatakan bahwa komponen Voluntary and Counseling Testing (VCT) bukan hanya terdiri dari para konselor atau rekan-rekan di LSM yang melakukan penjangkauan dan membantu merujuk penderita ke sarana pelayanan kesehatan.

“Mengingat VCT merupakan pintu masuk ke dalam jejaring pelayanan, maka diperlukan pula pihak-pihak yang membantu mendorong masyarakat untuk melakukan VCT, dan itu dapat dilakukan rekan-rekan wartawan,” terang dokter yang akrab disapa Puspo ini.

Kedua narasumber berharap semua pihak memiliki kesamaan persepsi tentang penaggulangan HIV/AIDS dan menghindari kontroversi. Untuk itu, diperlukan keterbukaan dan komunikasi yang baik.

“Sementara berproses, bukankah lebih baik jika para pemakai narkoba suntik diberi jarum suntik yang bersih agar tidak menggunakan jarum suntik bersama-sama.

Atau sementara berproses memperbaiki perilaku seksualnya, maka pria disarankan untuk menggunakan kondom. Semua ini dilakukan untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS yang lebih luas lagi,”pungkas Syaiful. (mif)

URL http://radar-bekasi.com/index.php?mib=berita.detail&id=63452
[Sumber: Harian ”Radar Bekasi”, 1 Oktober 2010]

Senin, 13 September 2010

Laporan Terbaru Kasus Kumulatif AIDS di Indonesia

Oleh Syaiful W. Harahap*

Statistik kasus AIDS nasional yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Kemenkes RI tanggal 6/8-2010 menunjukkan tambahan kasus dari beberapa daerah. Kasus AIDS yang dilaporkan pada priode April – Juni 2010 mencapai 1.206. Secara kumulatif kasus AIDS sejak ditemukan pertama kali (1987) sampai 30 Juni 2010 adalah 21.770 dengan 4.128 kematian.

Daerah yang melaporkan kasus AIDS pada priode April – Juni 2010 adalah:
Aceh 4
Sumatera Barat 28
Kepulauan Riau 7
Riau 1
Jambi 1
Bangka Belitung 3
DKI Jakarta 912
Banten 5
Jawa Barat 111
Jawa Tengah 67
Bali 22
Nusa Tenggara Barat 9
Nusa Tenggara Timur 1
Kalimantan Tengah 10
Sulawesi Tenggara 1
Maluku Utara 3.

Berdasarkan laporan terbaru tersebut maka gambaran kasus kumulatif AIDS di Indonesia adalah sbb.:

No Provinsi AIDS AIDS/IDU Mati
1 DKI Jakarta 3.740 2.611 552
2 Jawa Barat 3.710 2.695 663
3 Jawa Timur 3.540 1.090 732
4 Papua 2.858 2 373
5 Bali 1.747 269 311
6 Jawa Tengah 819 158 265
7 Kalimantan Barat 794 132 107
8 Sulawesi Selatan 591 210 62
9 Sumatera Utara 485 209 93
10 Riau 477 135 132
11 Sumatera Barat 410 268 99
12 Kepulauan Riau 341 30 133
13 Banten 323 200 56
14 DI Yogyakarta 290 132 81
15 Sumatera Selatan 219 104 38
16 Maluku 192 79 70
17 Sulawesi Utara 173 40 62
18 Jambi 166 96 50
19 Lampung 144 112 42
20 Nusa Tenggara Barat 142 50 69
21 Nusa Tenggara Timur 139 12 25
22 Bangka Belitung 120 41 18
23 Bengkulu 113 55 26
24 Papua Barat 58 5 19
25 Aceh 48 16 11
26 Kalimantan Tengah 40 11 4
27 Kalimantan Selatan 27 9 5
28 Sulawesi Tenggara 22 1 5
29 Maluku Utara 16 5 8
30 Sulawesi Tengah 12 6 6
31 Kalimantan Timur 11 4 10
32 Gorontalo 3 2 1
33 Sulawesi Barat 0 0 0
Jumlah 2.1770 8.789 4.128

Jumlah kumulatif kasus AIDS berdasarkan jenis kelamin, sbb.:

Jenis Kelamin AIDS AIDS/IDU
Laki-laki 16.093 8.050
Perempuan 5.578 681
Tidak diketahui 99 58
Jumlah 21.770 8.789


Jumlah kasus kumulatif AIDS berdasarkan faktor risiko, sbb.:

Faktor Risiko AIDS
Heteroseksual 10.722
Homoseksual 718
IDU 8.786
Tansfusi darah 20
Transmisi perinatal 587
Tidak diketahui 937



Kasus kumulatif AIDS berdasarkan golongan umur, sbb.:

Golongan umur AIDS AIDS/IDU
1 - 4 218 0
5 - 14 261 0
15 - 19 152 9
20 - 29 631 141
30 – 39 10.471 5.634
40 – 49 6.727 2.382
50 – 59 1.981 308
60 – 69 544 61
> 70 109 9
Tidak diketahui 676 245

Ada fakta yang sering luput terkait dengan jumlah kasus AIDS menurut golongan umur ini yaitu kasus AIDS tsb. banyak terdeteksi pada golongan umur tsb. adalah di kalangan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Mereka diwajibkan tes HIV jika hendak menjalani rehabilitasi.

Sebaliknya, kasus penularan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang dapat ‘menggiring’ orang-orang, laki-laki dan perempuan, yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.

Mereka itu adalah penduduk, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan seperti pekerja seks langsung atau tidak langsung (karyawan bar, ‘cewek kampus’, ‘anak sekolah’, PIL (pria idaman lain) dan WIL (wanita idaman lain) serta pelaku kawin-cerai.

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Menyikapi Kegagalan Perda AIDS Buleleng

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Kawasan Wajib Kondom Akan Diberlakukan.” Ini judul berita ANTARA (25/7-2010). Pernyataan ini muncul karena sudah terdeteksi 880 kasus sampai Juli 2010. Ini hanya kasus yang terdeteksi sedangkan kasus yang tidak terdeteksi jauh lebih besar karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang tampak di permukaan (kasus yang terdeteksi) hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat (kasus yang tidak terdeteksi)

Disebutkan: “Wakil Bupati Buleleng Made Arga Pinatih merekomendasikan imbauan WHO untuk menekan laju penyebaran virus HIV/AIDS yaitu dengan memberlakukan kawasan wajib kondom.” Program ‘wajib kondom 100 persen’ adalah upaya yang dilakukan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa.

Program itu bisa jalan karena dilakukan dengan cara-cara dan sanksi yang konkret. Program dijalankan dengan skala nasional di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Pemantauan dilakukan dengan cara survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) tehadap pekerja seks komersial (PSK). Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan ada PSK yang meladeni laki-laki tanpa kondom. Pengelola atau germo tempat kerja PSK itu diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.

Nah, apakah di Buleleng ada germo yang mengantongi izin usaha lebal dari Pemkab? Kalau jawabannya TIDAK maka program kondom tidak akan bisa diterapkan.

Wakil Bupati mengatakan: "Sistem ini menjadi evaluasi sistem dari yang selama ini diterapkan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kabupaten Buleleng yang dinilai masih belum mencapai hasil maksimal untuk menekan laju pertumbuhan penderita HIV/AIDS." Sayang dalam berita tidak dijelaskan cara yang diterapkan KPAD Buleleng dalam menanggulangi AIDS dengan kondom.

Dalam Perda Kab. Buleleng No 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak ada pasal yang menyebutkan pencegahan dengan kondom. Yang ada hanya di bagian penjelasan pasal 7. Pasal 7 berbunyi: “Setiap oang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan pencegahan.” Dalam penjelasan pasal 7 disebutkan: “Upaya pencegahan antara lain dengan cara: tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia) atau dengan memakai kondom atau tidak melakukan hubungan seksual yang penetratif.”

Persoalan besar dalam epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Penularan HIV pun lebih dari 90 persen terjadi tanpa disadari. Penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Dalam kaitan ini laki-laki menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Pertama, laki-laki, penduduk lokal atau pendatang, yang sudah mengidap HIV menularkan HIV kepada PSK, istrinya atau pasangan seksnya yang lain melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kedua, PSK yang sudah tertular HIV akan menularkan HIV kepada laki-laki, penduduk lokal atau pendatang, yang mengencaninya tanpa kondom. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula. Semua terjadi tanpa disadari karena laki-laki yang sudah mengidap HIV tadi tidak menyadarinya.

Kapan, sih, seseorang berisiko tertular HIV? Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang berisiko tinggi tertular HIV jika pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, sepreti PSK langsung (PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (karyawati bar, panti pijat, ’cewek anak sekolahan’, ’cewek kampus’, PIL dan WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai. Ini disebut sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Di pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.“ Pasal ini normatif karena memakai kata-kata yang konotatif. Apa yang dimaksud dengan pencegahan? Sedangkan hubungan seksual berisiko dalam penjelasan disebutkan sebagai ’setiap hubungan seksual yang dilakukan antar orang dalam kelompok rentan, kelompok beresiko, dan kelompok tertular.’

Penjelasan ini tidak akurat karena resiko penularan HIV tidak hanya terjadi pada kelompok rentan, kelompok beresiko, dan kelompok tertular. Penularan HIV bisa terjadi pada setiap orang yang melakukan perilaku berisiko kapan saja, dan di mana saja.

Wakil Bupati juga mengatakan: “ .... jika sistem lama sudah tidak maksimal, tentunya harus segera dicari sistem yang baru.“ Lagi-lagi dalam berita tidak dijelaskan apa dan bagaiman sistem lama dan bagaimana pula sistem baru.

Lebih lanjut Wakil Bupati menjelaskan: “ .... pihaknya akan membahas penerapan wajib kondom tersebut dengan pihak kementtrian agama yang ada di Buleleng terkait dengan pertimbangan moral dan hal lainnya.“ Ini membuktikan bahwa HIV/AIDS sebagai fakta medis (bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) ditanggulangi dengan moral. Ya, tidak nyambung.

Selain itu di mana dan bagaimana kelak penerapan wajib kondom kalau di Buleleng tidak ada germo yang memegang izin usaha pelacuran dan rumah bordir? Lagi-lagi pembicaraan di awang-awang sehingga hasilnya pun kelak bak ’menggantang asap’. Sia-sia.

Ada lagi pernyataan Wakil Bupati: "Namun, sistem yang lama bukan berarti tidak lagi dilakukan. Karena semuanya harus diadopsi dan disaring, mana yang paling baik untuk kondisi masyarakat Buleleng. Termasuk penekanan ceramah-ceramah keagamaan agar bisa membentengi para generasi muda kita." Ya, dalam berita tidak dijelaskan apa dan bagaiman sistem lama. Kalau mengacu ke Perda maka sama sekali tidak ada cara-cara pencegahan yang konkret.

Di bagian peran serta masyarakat pada pasal 20 disebutkan: ”Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS.” Ini juga normatif dan moralistis karena ayat a dan b justru tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Pasal ini akan mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Ini juga pernyataan Wakil Bupati: ”Masyarakat pada umumnya masih menganggap kondom sebagai sebuah hal yang tabu dan malu untuk diucapkan apalagi untuk dipraktekan penggunaannya.” Apakah betul masyarakat atau segelintir orang yang memakai moralitas dirinya sendiri yang menganggap kondom sebagai hal yang tabu? Jangan mengatasnamakan masyarakat untuk pembenaran sikap pribadi atau kelompok.

Menurut Wakil Bupati pandangan itu terjadi: “ .... dibentuk karena kuatnya adat timur selaku orang Indonesia dan Bali pada khususnya.” Ini slogan kosong yang menjadi bumerang bagi Bangsa ini. Apa yang dimaksud dengan budaya timur? Apakah Papua Niugini, Malaysia, Filipina, Australia, dll. yang berada di wilayah timur tidak mempunyak budaya (timur)? Mengapa hanya kita yang menganggap diri sebagai bangsa yang mempunyai budaya?

Budaya adalah pikiran dan akal budi. Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi manusia), seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Apakah hanya (bangsa) Indonesia yang memiliki kebudayaan di muka Bumi ini?

Lagi-lagi kita berlindung di balik slogan yang tidak membumi hanya untuk menutupi realitas sosial terkait perilaku seks. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Senin, 23 Agustus 2010

Menyibak Peran Perda AIDS Sulawesi Selatan

Oleh Syaiful W. Harahap*

Peraturan Daerah (Perda) Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) No 4/2010 tanggal 13/04/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan perda ke-38 di Nusantara. Di wilayah Prov. Sulawesi Selatan (Sulsel) perda pertama ditelurkan oleh Pemkab. Bulukumba (2008), disusul oleh Pemkab. Luwu Timur (2009. Apakah perda ini bisa bekerja efektif menanggulangi penyebaran HIV di Sulsel?

Perda AIDS ini tidak mencantumkan kata kondom sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seks. Padahal, ’perlombaan’ membuat perda AIDS di Indonesia justru berkaca ke Thailand yang dikabarkan berhasil menurunkan kasus infeksi baru HIV di kalangan dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.



Risiko tertular HIV melalui hubngan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau hubungan seks penetrasi dilakukan dengan orang yang sudah mengidap HIV (HIV-positif) dengan kondisi penis bersentuhan dengan vagina. Soalnya, dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam air mani dan cairan vagina sehingga ada risiko penularan pada saat terjadi gesekan penis dengan vagina.

Lalu, apa yang ditawarkan perda ini sebagai cara mencegah penularan HIV? Di pasal 1 ayat 9 disebutkan: ”Pencegahan adalah upaya-upaya agar penyebarluasan virus HIV tidak meluas dan terkonsentrasi di mayarakat melalui berbagai intervensi perilaku pada penjaja seks dan pelanggan dengan penggunaan alat pencegah, .....” Apa yang dimaksud alat pencegah dalam perda ini? Di pasal 1 ayat 32 disebutkan: ”Alat pencegah adalah sarung karet (lateks) yang pada penggunaannya dipasang pada alat kelamin laki-laki atau pada perempuan pada waktu melakukan hubungan seksual dengan maksud untuk mencegah penularan penyakit akibat hubungan seksual maupun pencegahan kehamilan.”

Ketika di era Orba banyak cerita terkait penjelasan KB, misalnya, penceramah mencontohkan penggunaan kondom dengan memakai jari tangan. Ada laki-laki yang memasang kondom di jarinya ketika sanggama dengan istrinya. Begitu pula dengan sarung karet. Bisa menimbulkan berbaga macam penafsiran karena sarung karet bukan kata yang denotatif (..........). Entah apa alasan perancang perda ini sehingga ’mengharamkan’ kata kondom.

Memang, selama ini ada anggapan yang keliru tentang kondom Banyak orang yang menganggap kondom mendorong orang untuk berzina. Ini salah besar karena banyak penelitian menunjukkan laki-laki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom dengan berbagai macam alasan. Sayang, penggagas dan perancang perda itu tidak melihat realitas ini sebagai fakta dan memilih anggapan sebagai kebenaran semu.

Sampai Desember 2009 dilaporkan 3.105 kasus HIV/AIDS, 2.330 HIV-positif dan 775 AIDS. Dengan data ini tentulah sudah saatnya Pemprov Sulesl melakukan upaya penanggulangan yang konkret tidak lagi sekedar retorika, seperti pembuatan perda. Di Tanah Papua ada delapan perda AIDS, apakah perda-perda itu bisa bekerja? Tidak. Mengapa? Ya, karena yang diatur dalam perda bukan cara-cara pencegahan yang akurat.

Banyak anggapan yang salah terhadap HIV/AIDS. Misalnya, ada kesan bahwa pekerja sekslah yang menyebarkan HIV. Ini keliru karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan seorang penduduk. Dalam kehidupa sehari-hari penduduk yang menularkan HIV kepada pekerja seks bisa sebagai seorang suami, lajang, perjaka, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, petani, nelayan, perampok, dll. Kemudian ada pula laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks yang sudah ditulari penduduk. Inilah mata rantai penyebaran HIV.

Pencegahan yang Faktual

Dalam perda ini di pasal 8 ayat e disebutkan: mendorong dan melaksanakan tes dan konseling HIV secara sukarela kepada populasi kunci.” Pada pasal 1 disebutkan: “Populasi kunci adalah kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS yaitu wanita penjaja seks komersial, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap penjaja seks, pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, laki-laki seks dengan laki-laki, waria, narapidana, dan anak jalanan.”

Pembatasan populasi kunci di atas akan membuat banyak orang berkelit karena dia bukan pelanggan (tetap) pekerja seks. Ketika mengasuh rubrik “Kosultasi HIV/AIDS” di Harian “Pare Pos’ seorang pejabat di Sulsel bertanya apakah dia berisiko tertular HIV karena dia hanya melakukan hubungan seks dengan cewek cantik dan mulus yang bukan pekerja seks di hotel berbintang di Jakarta dan Surabaya. Tentu saja berisiko karena cewek tadi sering berganti pasangan seks. Bisa saja salah seorang laki-laki yang mengencaninya HIV-positif sheingga dia tertular HIV. Laki-laki yang kemudian mengencaninya, seperti pejabat tadi, tentu saja berisiko tertular HIV.

Ada persoalan besar pada epidemi HIV yaitu orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dari fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari. Dalam kaitan inilah pasal yang diperlukan berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Kemudian untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Perda ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (pasal 16 ayat 1). Cara yang ditawarkan perda adalah: (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Cara-cara yang ditawarkan ini pun tidak faktual karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan perilaku hidup sehat dan ketahanan hidup keluarga. Cara-cara ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang sudah tertular HIV.

Untuk menanggulangi epidemi HIV di Sulsel khususnya dan di Indonesia umumnya tidak ada cara lain selain menyampaikan cara-cara penularan dan pencegahan yang faktual kepada masyarakat luas. ***

Menyibak Langkah Perda AIDS Kota Cirebon

Oleh Syaiful W. Harahap*

Setelah Kabupaten Tasikmalaya (2007) dan Kota Tasikmalaya (2008) kini Kota Cirebon, yang menelurkan perda penanggulangan AIDS di Prov. Jawa Barat. Melalui Perda No 1/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Pemkot Cirebon akan menanggulangi epidemi HIV di ‘Kota Udang’ ini. Sampai Mei 2010 sudah terdeteksi 435 kasus HIV/AIDS. Akankah perda ini bisa menanggulangi penyebaran HIV di Kota Cirebon?

Perda AIDS Kota Cirebon ini merupakan perda ke-37 dari 38 perda mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang sudah dibuat di Indonesia. Kalau saja Pemkot Cirebon dan DPRD Kota Cirebon mencermati perda-perda AIDS yang sudah ada tentulah perda yang dihasilkan tidak hanya bersifat copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.

‘Perlombaan’ membuat perda didorong oleh publikasi keberhasilan Thailand menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program yang dijalankan adalah ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Maka, perda-perda AIDS nasional pun mengadopsi program Thailnad itu.

Mata Rantai

Perda AIDS Kota Cirebon, misalnya, pencegahan dikaitkan dengan pemutusan mata rantai penularan. Pada pasal 17 ayat 2 yaitu: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV–AIDS wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan dengan menggunakan kondom.

Pasal ini tidak jalan akan bisa dijalankan karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Itulah sebabnya lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari.

Di pasal 20 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom. Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan hubungan seksual beresiko. Dalam ketentuan umum di pasal 1 ayat 32 disebutkan: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Tidak jelas apakah hubungan seksual beresiko sama dengan perilaku seksual tidak aman.

Terkait dengan upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dalam perda ini dilakukan melalui pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Beberapa pasal yang terkait dengan upaya ini tidak akan jalan karena tidak menyentuh akar persoalan yaitu penyebaran HIV secara horizontal yang terjadi tanpa disadari. Risiko tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Yang mendorong penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat adalah perilaku berisiko tinggi yaitu: (a). melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari penduduk (baca: laki-laki ‘hidung belang’) ke pekerja seks dan sebaliknya dari pekerja seks kepada laki-laki ’hidung belang’ maka perlu ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Untuk ‘menjaring’ orang-orang yang sudah tetular HIV maka perlu pula ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.

Biar pun sudah terdeteksi 435 kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang tampai di permukaan yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang tersembunyi. Kasus-kasus yang tersembunyi itulah yang bisa menjadi bumerang karena merupakan ‘bom waktu’ yang kelak akan menjadi ledakan AIDS. Soalnya, kasus-kasus yang tersembunyi itu menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.

Tempat Hiburan

Di pasal 25 tentang perawatan dan dukungan di sebutkan: Perawatan dan dukungan terhadap ODHA (yang benar adalah Odha karena bukan akronim tapi kata yang mengacu ke orang yang hidup dengan HIV/AIDS-pen.) dilakukan melalui pendekatan: (a) medis; (b) agama; (c) psikologis; (d) sosial dan ekonomi. Urut-urutan dukungan ini menggambarkan pemahaman terhadap HIV/AIDS dilakukan dengan kaca mata moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara yang konkret dengan teknologi kedokteran.

Seorang Odha akan memerlukan pertolongan medis untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah yaitu dengan meminum obat antiretroviral (ARV). Jika sudah mencapai masa AIDS maka diperlukan pula pengobatan penyakit-penyakit yang muncul yang dikenal sebagai infeksi oportunistik. Maka langkah kedua yang diperlukan adalah dukungan ekonomi untuk membeli obat-obatan dan biaya perawatan. Pendekatan norma, moral dan agama seyogyanya dilakukan sebelum seseorang tertular HIV yaitu melalui penyuluhan.

Seperti yang dilakukan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa adalah dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, lokalisasi dan rumah bordir tidak ada di Cirebon sehingga program itu tidak bisa dijalankan.

Dalam perda ini justru ada pasal yang terkait dengan tempat hiburan. Sayang, dalam ketentuan umum tidak ada penjelasan tentang tempat hiburan. Karena tidak ada penjelasan maka tempat hiburan akan mendapat stitma karena dianggap sebagai biang keladi penyebaran HIV. Apalagi di pasal 34 disebutkan: Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memeriksakan diri dan karyawannya yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ketempat-tempat pelayanan IMS yang disedikan pemerintah, lembaga nirlaba dan atau swasta yang ditunjuk oleh SKPD.

Tidak ada kaitan langsung antara tempat hiburan dengan penularan HIV. Tidak semua tempat hiburan menyediakan pekerja seks dan tempat untuk hubungan seks. Risiko tertular HIV bukan karena tempat tapi karena perilaku seks orang per orang. Seorang pekerja seks pun bisa perilakunya tidak berisiko jika dia hanya mau meladeni laki-laki pelanggan, suami atau pacarnya yang selalu memakai kondom jika sanggama.

Apakah Perda AIDS Kota Cirebon ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan perda-perda AIDS yang sudah ada hanya berperan sebagai ‘macan kertas’? Kita tunggu saja. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Rabu, 18 Agustus 2010

Tidak Ada Kaitan Penularan HIV dan Pasangan di Luar Nikah

Oleh Syaiful W. Harahap*

“56 Pasangan di Luar Nikah Bebas HIV.” Ini judul berita di Harian “Sumut Pos” (4/8-2010). Judul ini merupakan gambaran pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Memang, selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, yang tumbuh subur di masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, hubungan seks di luar nikah, hubungan seks pranikah, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, dan homoseksual.

Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan cara zina, hubungan seks di luar nikah, hubungan seks pranikah, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, dan homoseksual. Fakta ini hilang karena ditindih mitos.

Disebutkan dalam berita: “Sebanyak 56 pasangan yang terjaring dalam operasi cipta kondisi, akhir pekan silam, dinyatakan bersih dari virus HIV/AIDS. Kabid Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Deli Serdang Drg Ridha Sondang Hutajulu mengatakan, satu per satu pasangan itu diperiksa dari penularan penyakit.” Tidak dijelaskan reagent yang dipakai untuk melakukan tes HIV kepada pasangan yang terjaring itu. Selain itu bisa saja ada yang tertular tapi baru pada masa jendela maka hasilnya bisa negative (palsu).

Mitos kian kental dalam berita ini melalui kutipan pernyataan Kabid P2P Dineks Deli Serdang: ”Setelah dilakukan uji laboratorium terhadap darah pasangan yang bukan suami istri itu, dihasilkan kesimpulan tidak ada yang terjangkit HIV/AIDS.” Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan pasangan yang bukan suami istri karena penularan HIV tidak terjadi karena sifat hubungan seks (di luar nikah) tapi karena kndisi saat hubungan seks (tidak memakai kondom, salah satu atau dua-duanya HIV-positif).

Jika kita terus mengumbar mitos dalam memberikan informasi kepada masyarakat maka selama itu pula masyarakat tidak akan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Jika ini yang terjadi maka kita tinggal menunggu ledakan AIDS karena kasus-kasus penularan yang ada di masyarakat merupakan ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Tidak Ada Benteng untuk Membendung Penyebaran HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/08-2010. “Aceh ‘benteng’ HIV/AIDS Indonesia bisa jebol.” Ini judul berita di Harian “WASPADA”, Medan (25/06-2010).

Dalam berita disebutkan: “Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan provinsi Aceh yang diharapkan bisa menjadi "benteng" penahan penularan HIV/AIDS di Indonesia, namun kini bisa "jebol" menyusul ditemukan sebanyak 47 kasus penyakit tersebut.” Tidak dijelaskan apa yang dimaksud sebagai ‘benteng’ terhadap HIV/AIDS. Kalau ‘benteng’ yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam di Prov. Aceh maka hal itu tidak akurat karena penularan HIV tidak kasat mata.

Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD juga ’jebol’ (meminjam istilah Wagub Aceh-pen.). Data terahir menunjukkan kasus AIDS yang dilaporkan mencapai 13,926. Dari jumlah ini terdapat 3,538 penduduk asli Arab Saudi.

Secara de jure tidak ada lokalisasi pelacuran dan industri hiburan malam di Arab Saudi. Tapi, mengapa ada penduduknya yang tertular HIV? Ya, mereka tertular di luar Arab Saudi. Ketika mereka kembali ke negaranya mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Ada lagi pernyataan: “Wagub memperkirakan masih ada ratusan warga tertular penyakit yang dapat menurunkan kekebalan tubuh itu dan pada akhirnya bisa mengakibatkan kematian bagi penderitanya. HIV/AIDS tertular akibat seks bebas dan penggunaan jarum suntik narkoba.” Lagi-lagi penularan HIV dikaitkan dengan ‘seks bebas’.

Kalau ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina, maka ini mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama.

Sedangkan penularan HIV pada penyalahguna bisa terjadi jika narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Jika ada di antara mereka yang HIV-positif maka yang lain berisiko tertular HIV. Tidak ada risiko penularan HIV kalau penyalahguna narkoba memakai sendiri atau bersama-sama tapi dengan jarum suntik dan tabung yang steril atau baru.

Di bagian lain disebutkan: “Saya perkirakan masih ada ratusan warga daerah ini yang tertular, namun tidak berani melaporkan kepada petugas kesehatan atau merasa malu jika diketahui mengidap penyakit tersebut." Persoalan besar pada epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Begitu pula dengan orang-orang yang sudah tertular mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan penyakit yang khas AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Mereka bukan ‘tidak berani melapor’, tapi mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Mereka inilah yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Disebutkan pula: "Kami telah melakukan tindakan pencegahan melalui pemberian pemahaman tentang bahaya penyakit tersebut. Kegiatan sosialiasasi bahaya penyakit ini sering diberikan kepada masyarakat dan pelajar di Provinsi Aceh," Pertanyaannya adalah: Apakah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disosialisasikan akurat?

Kalau jawabannya YA, maka masyarakat akan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV secara benar. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka masyarakat hanya menangkap mitos terkait dengan penularan dan pencegahan HIV. Akibatnya, penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari.

Yang bisa dilihat kelak hanyalah ledakan kasus AIDS karena infeksi HIV pada penduduk yang tidak terdeteksi menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).